LASSERNEWS.COM - Jakarta, Holding Perkebunan Nusantara (PTPN III) Persero menargetkan penjualan pada tahun 2018 sebesar Rp48,7 triliun, meningkat dari proyeksi penjualan tahun 2017 yang ditargetkan sekitar Rp37 triliun.
"Penjualan tahun 2018 yang ditargetkan sebesar Rp48,7 triliun akan diajukan dalam Rencana Kerja dan Angaran Perusahaan (RKAP) 2018 kepada pemegang saham. Masih dihitung, tapi target tersebut kemungkinan bisa dicapai," kata Direktur Manajemen Operasional dan Pengembangan Holding Perkebunan Nusantara Erwan Pelawi di Jakarta, Selasa 14 November 2017.
Menurut Erwan, hingga Oktober 2017 total penjualan Holding Perkebunan Nusantara sudah mencapai Rp28,19 triliun, meningkat 4,89 persen dibanding periode sama 2016 sebesar Rp26,88 triliun.
Saat yang bersamaan, dalam 10 bulan tahun 2017 perusahaan mencatat laba bersih sebesar Rp921,29 miliar, melonjak tajam dari periode sama tahun 2016 yang menderita kerugian sebesar Rp805,59 miliar.
Sementara itu, Direktur Utama Holding Perkebunan Nusantara Dasuki Amsir mengatakan pencapaian performa usaha yang diproyeksikan meningkat pada tahun 2017 diperkirakan akan berlanjut pada tahun 2018.
Menurut Dasuki, pada Tahun 2018 perseroan menargetkan penjualan sawit atau tandan buah segar (TBS) sebesar 9,1 juta ton, melonjak dari proyeksi penjualan sawit Tahun 2017 sebesar 8,8 juta ton.
Sementara penjualan mintak sawit (CPO) ditargetkan sebanyak 2,1 juta ton, naik dari sebelumnya 1,8 juta ton.
Ia menambahkan, pada Tahun 2018 Holding Perkebunan Nusantara tidak akan melakukan ekspansi lahan sawit, namun terus meningkatkan kualitas mutu tanaman sawit, perbaikan pabrik kelapa sawit sesuai dengan rencana dan program.
"Program peningkatan kualitas usaha ditargetkan dapat meningkatkan produksi minyak sawit (CPO) dari sekitar 4 ton per hektare, menjadi 6-8 ton per hektare dalam jangka panjang, dengan mengedepankan intensifikasi yang terstruktur dan riset berkesimabungan," ujarnya.
Sementara itu, perusahaan juga melanjutkan program revitalisasi dan pembangunan pabrik gula baru yang diharapkan dapat mendorong peningkatan produksi gula dalam jangka menengah dan panjang.
Secara keseluruhan setidaknya terdapat tujuh pabrik gula yang akan direvitalisasi, yaitu PG Mojo dan PG Rendeng di Jawa Tengah, PG Jatiroto, PG Asembagus dan PG Gempolkrep, di Jawa Timur.
Selanjutnya, di Lampung akan merevitalisasi PG Bunga Mayang dan PG Cinta Manis.
Hingga Oktober 2017 total penjualan Holding Perkebunan Nusantara tercatat mencapai Rp28,19 triliun. Kontribusi komiditi gula mencapai 13 persen atau senilai Rp3,70 triliun.
Sementara kontribusi komoditas kelapa sawit terhadap total penjualan sampai dengan Oktober 2017 mencapai 65 persen atau senilai RP17,94 triliun.
Sedangkan komoditi lainnya yaitu karet, dengan mengkontribusi terhadap penjualan sebesar 13 persen, teh 3 persen, kopi 0,35 persen, tembakau 0,33 persen, kakao 0,17 persen.
Seorang pengamat perkebunan menilai perolehan laba Holding Perkebunan Nusantara bukan karena transformasi atau perbaikan manajemen, tapi lebih dari faktor keberuntungan dengan naiknya harga minyak sawit dan karet di pasar internasional. Rata-rata harga minyak sawit tahun ini menjadi Rp7500 per kilogram, sedangkan tahun lalu sekitar Rp6.500 per kilogram.
Di sisi lain, kata mantan direksi PT Perkebunan itu, restrukturisasi dan reformasi anak-anak perusahaan mash jauh dari harapan karena masih banyak anak usaha yang mengalami kerugian seperti PTPN I Aceh, PTPN II Tanjung Morawa, PTPN VII Lampung, PTPN IX Jateng, PTPN XIII Kalimantan, dan PTPN XIV Sulawesi. PTPN yang masih kerugi itu, kata dia, karena manajemennya tak becus dalam mengambil kebijakan dan orang yang ditempatkan pada posisi manajemen kurang tepat.
Tender e-procuremen yang dibanggakan, kata dia, ternyata mematikan usaha kecil dan menengah karena tak mampu bersaing dengan perusahaan besar. Sedangkan pekerjaan di lingkungan BUMN perkebunan jatuh kepada perusahaan yang itu-itu saja, kelompk tertentu karena sudah dikondisikan oleh panitia lelang. Parahnya lagi, kata dia, pekerjaan penunjukan langsung menimbulkan kolusi baru antara panitia lelang dan perusahaan tertentu, sehingga membuat pelaku UMKM tersingkir dan tidak mendapatkan pekerjaan. "Saya sudah tiga tahun tak mendapatkan pekerjaan di PTPN III Medan," ujar seorang pelaku usaha. Setelah tender e-procuremen diselenggarakan, paparnya, pekerjaan di lingkungan PTPN III dikerjakan perusahaan tertentu dengan membentuk kolusi baru.
"Coba perhatikan pekerjaan Rp200 juta ke bawah yang diundang ikut tender hanya perusahaan tertentu saja. Sedangkan perusahaan yang lain sulit masuk ketika tender sudah dibuka. Banwit e-precuremen sengaja dimain-mainkan, sehingga yang lain tidak bisa masuk. Ini sudah menjadi rahasia umum," tuturnya. (Ismasal/Rel)
"Penjualan tahun 2018 yang ditargetkan sebesar Rp48,7 triliun akan diajukan dalam Rencana Kerja dan Angaran Perusahaan (RKAP) 2018 kepada pemegang saham. Masih dihitung, tapi target tersebut kemungkinan bisa dicapai," kata Direktur Manajemen Operasional dan Pengembangan Holding Perkebunan Nusantara Erwan Pelawi di Jakarta, Selasa 14 November 2017.
Menurut Erwan, hingga Oktober 2017 total penjualan Holding Perkebunan Nusantara sudah mencapai Rp28,19 triliun, meningkat 4,89 persen dibanding periode sama 2016 sebesar Rp26,88 triliun.
Saat yang bersamaan, dalam 10 bulan tahun 2017 perusahaan mencatat laba bersih sebesar Rp921,29 miliar, melonjak tajam dari periode sama tahun 2016 yang menderita kerugian sebesar Rp805,59 miliar.
Sementara itu, Direktur Utama Holding Perkebunan Nusantara Dasuki Amsir mengatakan pencapaian performa usaha yang diproyeksikan meningkat pada tahun 2017 diperkirakan akan berlanjut pada tahun 2018.
Menurut Dasuki, pada Tahun 2018 perseroan menargetkan penjualan sawit atau tandan buah segar (TBS) sebesar 9,1 juta ton, melonjak dari proyeksi penjualan sawit Tahun 2017 sebesar 8,8 juta ton.
Sementara penjualan mintak sawit (CPO) ditargetkan sebanyak 2,1 juta ton, naik dari sebelumnya 1,8 juta ton.
Ia menambahkan, pada Tahun 2018 Holding Perkebunan Nusantara tidak akan melakukan ekspansi lahan sawit, namun terus meningkatkan kualitas mutu tanaman sawit, perbaikan pabrik kelapa sawit sesuai dengan rencana dan program.
"Program peningkatan kualitas usaha ditargetkan dapat meningkatkan produksi minyak sawit (CPO) dari sekitar 4 ton per hektare, menjadi 6-8 ton per hektare dalam jangka panjang, dengan mengedepankan intensifikasi yang terstruktur dan riset berkesimabungan," ujarnya.
Sementara itu, perusahaan juga melanjutkan program revitalisasi dan pembangunan pabrik gula baru yang diharapkan dapat mendorong peningkatan produksi gula dalam jangka menengah dan panjang.
Secara keseluruhan setidaknya terdapat tujuh pabrik gula yang akan direvitalisasi, yaitu PG Mojo dan PG Rendeng di Jawa Tengah, PG Jatiroto, PG Asembagus dan PG Gempolkrep, di Jawa Timur.
Selanjutnya, di Lampung akan merevitalisasi PG Bunga Mayang dan PG Cinta Manis.
Hingga Oktober 2017 total penjualan Holding Perkebunan Nusantara tercatat mencapai Rp28,19 triliun. Kontribusi komiditi gula mencapai 13 persen atau senilai Rp3,70 triliun.
Sementara kontribusi komoditas kelapa sawit terhadap total penjualan sampai dengan Oktober 2017 mencapai 65 persen atau senilai RP17,94 triliun.
Sedangkan komoditi lainnya yaitu karet, dengan mengkontribusi terhadap penjualan sebesar 13 persen, teh 3 persen, kopi 0,35 persen, tembakau 0,33 persen, kakao 0,17 persen.
Seorang pengamat perkebunan menilai perolehan laba Holding Perkebunan Nusantara bukan karena transformasi atau perbaikan manajemen, tapi lebih dari faktor keberuntungan dengan naiknya harga minyak sawit dan karet di pasar internasional. Rata-rata harga minyak sawit tahun ini menjadi Rp7500 per kilogram, sedangkan tahun lalu sekitar Rp6.500 per kilogram.
Di sisi lain, kata mantan direksi PT Perkebunan itu, restrukturisasi dan reformasi anak-anak perusahaan mash jauh dari harapan karena masih banyak anak usaha yang mengalami kerugian seperti PTPN I Aceh, PTPN II Tanjung Morawa, PTPN VII Lampung, PTPN IX Jateng, PTPN XIII Kalimantan, dan PTPN XIV Sulawesi. PTPN yang masih kerugi itu, kata dia, karena manajemennya tak becus dalam mengambil kebijakan dan orang yang ditempatkan pada posisi manajemen kurang tepat.
Tender e-procuremen yang dibanggakan, kata dia, ternyata mematikan usaha kecil dan menengah karena tak mampu bersaing dengan perusahaan besar. Sedangkan pekerjaan di lingkungan BUMN perkebunan jatuh kepada perusahaan yang itu-itu saja, kelompk tertentu karena sudah dikondisikan oleh panitia lelang. Parahnya lagi, kata dia, pekerjaan penunjukan langsung menimbulkan kolusi baru antara panitia lelang dan perusahaan tertentu, sehingga membuat pelaku UMKM tersingkir dan tidak mendapatkan pekerjaan. "Saya sudah tiga tahun tak mendapatkan pekerjaan di PTPN III Medan," ujar seorang pelaku usaha. Setelah tender e-procuremen diselenggarakan, paparnya, pekerjaan di lingkungan PTPN III dikerjakan perusahaan tertentu dengan membentuk kolusi baru.
"Coba perhatikan pekerjaan Rp200 juta ke bawah yang diundang ikut tender hanya perusahaan tertentu saja. Sedangkan perusahaan yang lain sulit masuk ketika tender sudah dibuka. Banwit e-precuremen sengaja dimain-mainkan, sehingga yang lain tidak bisa masuk. Ini sudah menjadi rahasia umum," tuturnya. (Ismasal/Rel)
Posting Komentar